ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL
Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal. Pada kondisi normal, pertama-tama darah akan masuk ke glomerulus dan mengalami penyaringan melalui pembuluh darah halus yang disebut kapiler. Di glomerulus, zat-zat sisa metabolisme yang sudah tidak terpakai dan beberapa yang masih terpakai serta cairan akan melewati membran kapiler sedangkan sel darah merah, protein dan zat-zat yang berukuran besar akan tetap tertahan di dalam darah. Filtrat (hasil penyaringan) akan terkumpul di bagian ginjal yang disebut kapsula Bowman. Selanjutnya, filtrat akan diproses di dalam tubulus ginjal. Di sini air dan zat-zat yang masih berguna yang terkandung dalam filtrat akan diserap lagi dan akan terjadi penambahan zat-zat sampah metabolisme lain ke dalam filtrat. Hasil akhir dari proses ini adalah urin (air seni).
Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik.
A.GAGAL GINJAL AKUT
1. Definisi
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan penurunan fungsi ginjal secara mendadak sehingga ginjal tidak mampu menjalani fungsinya untuk mengekskresikan hasil metabolisme tubuh (kelebihan nitrogen dan air) dan mempertahankan keseimbangan asam dan basa (Mueller,2005). GGA adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria. GGA dapat berakibat azotemia progesif disertai kenaikkan ureum dan kreatinin darah (Parsoedi and Soewito, 1990).
Kriteria Diagnosis Gagal Ginjal Akut. Penurunan mendadak fungsi ginjal (dalam 48 jam) yang ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum sebesar > 0,3 mg/dl atau kenaikan kadar kreatinin serum lebih dari 1,5 kali (50%) bila dibandingkan dengan kadar sebelumnya atau penurunan urine output menjadi kurang dari 0,5 cc/jam selama lebih dari 6 jam (workshop dan symposium HIPERCCI Jawa tengah, 2013)
2. Epidemiologi
Menurut Dr. Suhardjono kasus gagal ginjal di dunia meningkat lebih dari 50%, sedangkan di Indonesia sudah mencapai 20%. Mortalitas penderita GGA masih cukup tinggi 40–50% pada GGA oliguri dan 15–20 % pada gagal ginjal akut non-oliguri. Insiden GGA di populasi umum kurang dari 1 %, 5–7 % pada penderita yang dirawat di rumah sakit dan 20–25 % dari penderita di ruang perawatan intensif (Suhardjono, 2007).
3. Etiologi
Penyebab GGA dapat di bagi dalam 3 kategori utama : 1) GGA akibat penurunan suplai darah ke ginjal, keadaan ini sering disebut sebagai GGA prarenal untuk menggambarkan bahwa kelainan terjadi sebelum ginjal. Kelainan ini bisa diakibatkan oleh: a) Gagal jantung dengan penurunan curah jantung dan tekanan darah rendah. b) Keadaan yang berhubungan dengan penurunan volume darah dan tekanan darah rendah seperti pada pendarahan hebat. 2) Gagal ginjal intrarenal akibat kelainan di dalam ginjal itu sendiri termasuk kelainan yang mempengaruhi darah glomerulus atau tubulus. 3) Gagal ginjal pascarenal, berarti ada sumbatan di traktus urinarius di luar ginjal adalah batu ginjal, akibat presipitasi kalsium, atau sistin (Guyton and Hall, 1997).
4. Patofisiologi
a) Perubahan filtrasi glomerulus. Filtrasi glomerulus bergantung pada penjumlahan gaya-gaya yang mendorong filtrasi plasma menembus glomerulus dan gaya-gaya yang mendorong reabsorpsi filtrat kembali ke dalam glomerulus. Gaya-gaya yang mendorong filtrasi adalah tekanan kapiler dan tekanan osmotik koloid cairan interstisium (Corwin, 2000). Tekanan kapiler bergantung pada tekanan arteri rerata. Peningkatan tekanan arteri rerata meningkatkan tekanan kapiler sehingga cenderung terjadi peningkatan filtrasi glomerulus. Penurunan tekanan arteri rerata menurunkan tekanan kapiler dan cenderung mengurangi filtrasi glomerulus. Tekanan osmotik koloid cairan intertisium rendah karena hanya sedikit protein plasma atau sel darah merah dapat menembus glomerulus. Pada cedera glomerulus atau kapiler peritubulus, tekanan osmotik koloid cairan intertisium dapat meningkat. Apabila meningkat, maka cairan akan tertarik keluar glomerulus dan kapiler peritubulus sehingga terjadi pembengkakan dan edema di ruang Bowman dan intertisium yang mengelilingi tubulus. Pembengkakan tersebut dapat mengganggu filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubulus lebih lanjut dengan meningkatkan tekanan cairan interstisium (Corwin, 2000).
b) Obstruksi tubulus. Peningkatan tekanan cairan interstisium sering disebabkan oleh obstruksi tubulus. Obstruksi menyebabkan penimbunan cairan di nefron yang mengalir kembali ke kapsula dan ruang Bowman. Obstruksi tubulus yang tidak diatasi dapat menyebabkan kolapsnya nefron dan kapiler sehingga terjadi kerusakan ginjal yang ireversibel terutama di papila yang merupakan tempat akhir pemekatan urin. Penyebab obstruksi antara lain adalah batu ginjal dan pembentukkan jaringan parut akibat infeksi ginjal (Corwin, 2000).
c) Iskemia korteks ginjal. Iskemia terjadi karena kerusakan tubulus sel endotel dan adanya sumbatan intrarenal sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Iskemia umumnya merupakan kejadian awal yang dapat merusak tubulus atau glomerulus sehingga dapat menurunkan aliran darah. Nekrosis tubular akut mengakibatkan deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, yang kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia (Wilson, 1995).
5. Tanda dan gejala
Tanda-tanda dan gejala klinis GGA sering tersamar dan tidak spesifik walaupun hasil pemeriksaan biokimiawi serum selalu menunjukkan ketidaknormalan. Gambaran klinis dapat meliputi : a. Perubahan volume urin (oliguria, poliuria) b. Kelainan neurologis (lemah, letih. gangguan mental) c. Gangguan pada kulit (gatal-gatal, pigmentasi, pallor) d. Tanda pada kardiopulmoner (sesak, pericarditis) dan gejala pada saluran cerna (mual, nafsu makan menurun, muntah) (Kenward and Tan, 2003). Oliguria (penurunan pengeluaran urin), terutama apabila kegagalan disebabkan oleh iskemia atau obstruksi. Oliguria dapat terjadi karena penurunan laju filtrasi glomerulus. Azotemia (peningkatan senyawa-senyawa bernitrogen dalam darah), hiperkalemia (peningkatan kalium dalam darah) dan asidosis. Perubahan elektrolit dan pH yang dapat menyebabkan ensefalopati uremik (Corwin, 2000).
6. Pemeriksaan Klinis Dan Diagnosis
Uji fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit ginjal secara garis besar saja, dan lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami kerusakan sebelum terlihat nyata adanya gangguan pada ginjal. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal (Kenward and Tan, 2003).
a. Anamnesis Riwayat penyakit amat penting untuk mendapatkan faktor penyebab atau yang memperberat gagal ginjal. Pada GGA perlu diperhatikan betul banyaknya asupan cairan, kehilangan cairan melalui urin, muntah, diare, keringat yang berlebihan dan lain-lain serta pencatatan berat badan pasien (Suhardjono et al., 2001).
b. Pemeriksaan fisik . Ada tiga hal penting yang harus didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien dengan GGA : Penentuan status volume sirkulasi, apakah ada tanda-tanda obstruksi saluran kemih, yang terakhir adakah tanda-tanda penyakit sisitemik yang mungkin menyebabkan GGA (Suhardjono et al., 2001).
c. Analisis urin Meliputi berat jenis urin, glukosa pada urin, protein pada urin, sedimen eritrosis, silinder leukosit, eosinofil dalam urin, kristal urat dan kristal oksalat (Suhardjono et al., 2001). Osmolalitas (berat jenis spesifik) urin dapat diukur dan harus berada di antara 1.015 dan 1.025. Dehidrasi menyebabkan peningkatan osmolalitas urin karena banyak air yang direabsorpsi kembali masuk ke kapiler peritubulus. Hidrasi berlebihan menyebabkan penurunan osmolalitas urin (Corwin, 2000).
d. Penentuan indikator urin Pemeriksaan beberapa indikator urin seperti albumin, natrium, ureum dan kreatinin dapat dipakai untuk mengetahui proses yang terjadi dalam ginjal (Suhardjono et al., 2001).
Pemeriksaan laju filtrasi glomerulus dapat menggunakan konsentrasi kreatinin serum dan Blood Urea Nitrogen (BUN)
1) Blood Urea Nitrogen (BUN)
Urea adalah produk akhir metabolisme protein yang mengandung nitrogen. Pada penurunan fungsi ginjal, kadar urea darah meningkat. BUN dapat dipengaruhi keadaan-keadaan yang tidak berkaitan dengan ginjal, misalnya peningkatan atau penurunan asupan
2) Kreatinin Serum
Kreatinin serum merupakan produk sampingan dari metabolisme otot rangka normal. Laju produksinya bersifat tetap dan sebanding dengan jumlah massa otot tubuh. Kreatinin diekskresi terutama oleh filtrasi glomeruler dengan sejumlah kecil yang diekskresi atau reabsorpsi oleh tubulus. Bila massa otot tetap, maka adanya perubahan pada kreatinin mencerminkan perubahan pada klirensnya melalui filtrasi, sehingga dapat dijadikan indikator fungsi ginjal. Kreatinin serum meningkat pada gagal ginjal. Namun ada beberapa yang mempengaruhi kadar kretinin serum antara lain : diet, saat pengukuran, usia penderita, jenis kelamin, berat badan, latihan fisik, keadaan pasien, dan obat (Kenward and Tan, 2003).
Tabel II. Fungsi Ginjal Berdasarkan Klirens Kreatinin (ClCr) dan Serum Kreatinin (SrCr)
Gangguan Fungsi Ginjal ClCr (ml/menit) SrCr (mg/dl)
Ringan 20-50 1,5-5
Moderat 10-20 5-10
Parah <10 >10
3)Pemeriksaan penunjang untuk melihat anatomi ginjal. Pada gagal ginjal pemeriksaan ultrasonography menjadi pilihan utama untuk memperlihatkan anatomi ginjal (Suhardjono et al., 2001).
4) Pemeriksaan biopsi ginjal dan serologi
7. Penatalaksanaan Medis GGA
Ada tiga sasaran dalam penatalaksanaan GGA, yaitu mencegah perluasan kerusakan ginjal, mengatasi perluasan kerusakan ginjal, dan mempercepat pemulihan ginjal.
Beberapa prinsip terapi konservatif.
1. Hati – hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik :
2. hindari keadaan yang menyebabkan deplesi volume cairan ekstraselular dan hipotensi.
3. hindari gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolic
4. hindari instrumentasi (kateterisasi dan sitoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat
5. kendalikan keadaan hiperglikemia dan infeksi saluran kemih
6. diet protein proporsional
7. pengobatan yang sesuai terhadap etiologi gagal ginjal akut.
Pengelolaan suportif gagal ginjal akut
Komplikasi Terapi
Kelebihan cairan Batasi garam (1-2gr/hari) dan air (<1 liter/hari
Intravascular Diuretic (biasanya furosemid +/- tiazide)
Hiponatremia Batasi cairan (<1 liter/hari ). hindari pemberian cairan hipotonis (termasuk D5%)
Hiperkalemia Batasi intake kalium (40 mmol/hari)
Hindari suplemen kalium dan diuretic hemat kalium
Beri glukosa 50% sebanyak 50 cc +insulin 10 unit
Beri natrium bikarbonat (50-100mmol)
Beri Salbutanol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1 mg iv
Kalsium glukonat 10% (10cc dalam 2-5 menit)
Asidosis metabolic Batasi intake protein (0,8-1 gr/kgBB/hari
Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum bikarbonat plasma >15mmol dan ph arteri >7,2
Hiperfosfatemia Batasi intake fosfat (800mg/hari)
Beri pengikat fosfat (kalsium asetat-karbonat, alumunium HCL, sevalamer)
Hipokalsemia Beri kalsium karbonat atau kalium glukonat 10% (10-20cc)
Hiperuriksemia Tidak perlu terapi jika kadar asam urat <15mg/dl
(HIPERCCI , 2013)
Terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien GGA yaitu terapi suportif berupa pengelolaan cairan. Curah jantung dan tekanan darah harus dijaga agar tetap memberikan perfusi jaringan yang adekuat. Cairan harus dihindarkan pada keadaan anuria dan oliguria sampai pasien mengalami hipervolemia (edema paru). Apabila pemberian cairan tidak dibatasi, edema seringkali terjadi terutama pada pasien dengan hipoalbumenia. Sebaliknya vasopresor seperti dopamin dengan dosis >2μg/kg/menit atau norefrineprin digunakan untuk memelihara perfusi jaringan, tetapi juga bisa menginduksi hipoksia ginjal melalui pengurangan aliran darah ginjal. Hiperkalemia dan hiperfosfatemia merupakan gangguan elektrolit yang umum pada pasien GGA (Mueller, 2005)
Pemberian terapi obat pada pasien GGA kadang masih kontroversial. Diuretik digunakan pada pasien overload cairan dan non oliguria. Obat yang paling efektif menyebabkan diuresis pada GGA adalah manitol dan diuretik kuat. Manitol hanya bisa diberikan melalui jalur parenteral. Dosis awal biasanya 2,5-25 gram lewat infus intravena selama 3-5 menit. Furosemid, bumetamid, torsemid dan asam etakrinat merupakan jenis diuretik kuat yang digunakan pada pasien GGA. Furosemid merupakan diuretik kuat yang paling sering digunakan karena harganya murah, aman dan juga bisa digunakan secara oral atau parenteral. Asam etakrinat digunakan pada pasien yang alergi terhadap komponen sulfa. Torsemid dan bumetamid memiliki bioavailabilitas oral yang lebih baik dibandingkan furosemid (Mueller, 2005).
8. Indikasi Dan Criteria Inisiasi TPG Pada Gagal Ginjal Akut Di ICU
a) Oligouria (output urin <200cc/12 jam)
b) Anuria/ oligouria berat (output urin <50 cc/12 jam)
c) Hiperkalemia (K> 6,5mmol/L)
d) Asidosis berat (ph <7,1)
e) Azotemia (Uremia >30mmol/L)
f) Gejala klinik berat (terutama edema paru)
g) Ensefalopati uremik
h) perikarditis uremik
i) neuropati / miopati uremik
j) disnatremia berat (Na >150 atau <115 mmol/L)
k) Overdosis obat-obatan yang terdialisis jika kadar asam urat < 15 mg/dl
(HIPERCCI , 2013)
B. GAGAL GINJAL KRONIS
1. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Gagal ginjal kronis menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009 adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih tiga bulan dengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/men./1,73 m2.
2. Etiologi Gagal Ginjal Kronis
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006) mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di Indonesia, yaitu :
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46, 39 %
Diabetes Melitus 18,65 %
Obstruksi dan infeksi 12,85 %
Hipertensi 8,46 %
Sebab lain 13,65 %
3. Laju Filtrasi Glomerulus
Laju filtrasi glomerolus ( LFG ) adalah mengukur berapa banyak filtrat yang dihasilkan oleh glomerolus yang berguna untuk menilai fungsi ekskresi ginjal. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar LFG dapat menggunakan rumus Cockroft - Gault:
Untuk pria :
LFG ( ml/mnt/1,73 m2) = ( 140 – umur (th) ) x BB ( kg )
72 x kreatinin serum ( mg/dl)
Bila pada perempuan LFG = nilai pada pria x 0,85
atau dengan menggunakan rumus lainnya seperti di bawah ini:
Ccr = Ucr x V
Pcr
C = Clearance creatinin ( ml/menit )
Ucr = Kreatinin urin ( mg/dl )
V = Volume urin ( ml/24 jam )
Pcr = Kreatinin plasma / serum ( mg/dl )
Menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI), gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke waktu sebagai berikut :
Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 ml/min/1,73 m2)
Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2)
Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2)
Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2)
Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2)
Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang abnormal (Arora, 2009).
4. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal juga yang dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron adalah serangkaian reaksi yang dirancang untuk membantu mengatur tekanan darah.
1. Ketika tekanan darah turun (untuk sistolik, sampai 100 mm Hg atau lebih rendah), ginjal melepaskan enzim renin ke dalam aliran darah.
2. Renin membagi angiotensinogen, suatu protein besar yang beredar dalam aliran darah, menjadi potongan-potongan. Satu bagiannya adalah angiotensin I.
3. Angiotensin I, yang relatif tidak aktif, dibagi menjadi potongan-potongan oleh angiotensin-converting enzyme (ACE). Satu bagiannya adalah angiotensin II, suatu hormon yang sangat aktif.
4. Angiotensin II menyebabkan dinding otot arteri kecil (arteriola) mengerut, meningkatkan tekanan darah. Angiotensin II juga memicu pelepasan hormon aldosterone dari kelenjar adrenal dan hormon antidiuretik dari kelenjar pituitari.
5. Aldosteron menyebabkan ginjal untuk menahan pengeluaran garam (natrium) dan kalium. Natrium menyebabkan air harus dipertahankan, sehingga meningkatkan volume darah dan tekanan darah.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikataan sampai pada stadium gagal ginjal.
Pathway
5. Manifestasi Klinik
a) Kardiovaskuler : Hipertensi,Pitting edema,Edema periorbital,Pembesaran vena leher,Friction rub perikardial
b) Pulmoner :Nafas dangkal,Kusmaul,Sputum kental dan liat
c) Gastrointestinal :Anoreksia, mual dan muntah,Perdarahan saluran GI,Ulserasi dan perdarahan pada mulut,Konstipasi / diare,Nafas berbau amonia
d) Muskuloskeletal :Kram otot,Kehilangan kekuatan otot,Fraktur tulang,Foot drop
e) Integumen :Warna kulit abu-abu mengkilat,Kulit kering, bersisik, Pruritus, Ekimosis,Kuku tipis dan rapuh
6. Perjalanan Klinik
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu stadium pertama, stadium kedua, dan stadium ketiga atau akhir (Price & Wilson, 1995).
a) Stadium pertama
Stadium pertama ini dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar nitrogen urea daerah normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal dapat di ketahui dengan tes pemekatan kemih yang lama atau dengan tes glomerulus filtrasi yang teliti.
b) Stadium kedua
Stadium kedua disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Pada stadium ini kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal, gejala-gejala nokturia dan poliuria mulai timbul.
c) Stadium ketiga atau stadium akhir
Stadium ini disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia, timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respon terhadap glomerulus filtrasi yang mengalami penurunan.
7. Komplikasi gagal ginjal kronik
Bila ginjal tidak berfungsi sebagai salah satu alat pengeluaran (ekskresi), maka sisa metabolisme yang tidak dikeluarkan tubuh akan menjadi racun bagi tubuh sendiri dan mengakibatkan hipertensi, anemia, asidosis, ostedistrofi ginjal, hiperurisemia dan neuropati parifer. Pada sebagian kecil kasus (10%), hipertensi mungkin tergantung renin dan refrakter terhadap kontrol volume natrium ataupun dengan anti hipertensi ringan. Bila K+ serum mencapai kadar sekitar 7 mEq/l, dapat terjadi aritmia yang serius dan juga henti jantung. Hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik kronik yang ringan pada penderita uremia biasanya akan menjadi stabil pada kadar bikarbonat plasma 16 sampai 20 mEq/l. Anemia berupa penurunan sekresi eritropoeitin oleh ginjal yang sakit maka pengobatan yang ideal adalah penggantian hormon ini. Pada hiperurisemia kadar asam urat yang meninggi maka dihambat biosintesis yang dihasilkan oleh tubuh dan neuropati perifer biasanya simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai tahap akhir (Behrman, 1987 dikutip dari Noer, 2003).
8. Penatalaksanaan gagal ginjal kronik
Penatalaksanaan konservatif gagal ginjal kronik lebih bermanfaat bila penurunan faal ginjal masih ringan, yaitu dengan memperlambat progresif gagal ginjal, mencegah kerusakan lebih lanjut, pengelolaan uremia dan komplikasinya, kalsium dan fosfor untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfor serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor dan hiperurisemia (Suhardjono, 2001).
Selain itu tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan mencegah komplikasi yaitu sebagai berikut :
1. Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2002).
2. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infuse glukosa.
3. Koreksi anemia
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, missal pada adanya insufisiensi koroner.
4. Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Hemodialisis dan dialysis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis
5. Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
6. Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian Primer
Circulation
– Pengkajian Tekanan darah, nadi, saturasi O2,keadaan umum
Keadaan umum : Klien lemah dan terlihat sakit berat
TTV : Sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat, tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat
– Apabila ditemukan hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau akibat peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensi-aldosteron.
– Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit dan kalsifikasi metastastatik.
– Nyeri dada dan sesak nafas, akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
– Edema akibat penimbunan cairan.
Airway
– Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun. Agitasi memberi kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia. Letak lidah akan mengganggu jalan nafas. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut.
– Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat.
Breathing
– Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat. Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
– Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Kaji adanya bunyi nafas yang abnormal. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-takipneu mungkin menunjukkan kekurangan oksigen
– Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat
.
PENGKAJIAN
1. Riwayat keluarga
2. Penyakit yang dialami
3. Obat-obatan nefrotoksis
4. Kebiasaan diet
5. Penambahan BB atau kehilangan BB
6. Manifestasi klinik yang muncul pada sisitem organ
DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, retensi cairan dan natrium
Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
Kriteria Hasil : Klien tidak sesak nafas, edema ekstermitas berkurang, piting edema (-), produksi urine > 600ml/hr
Kaji status cairan
a. timbang BB harian
b. keseimabngan masukan dan haluaran
c. turgor kulit dan adanya edema
d. distensi vena leher
e. tekanan darah, denyaut dan irama nadi
Batasi masukan cairan
Identifikasi sumber potensial cairan
Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional dari pembatasan
Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan
Tingkatkan dan dorong higiene oral dengan sering
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
Batasi masukan cairan (Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi)
Pantau hasil elektrolit (Natrium,Kalium)
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan (Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan)
pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran(Untuk mengetahui keseimbangan input dan output)
3. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
Atur posisi senyaman mungkin
Batasi untuk beraktivitas
4. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
Auskultasi bunyi jantung dan paru.Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur.
Kaji adanya hipertensi. Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas. Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
5. Perubahan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual dan muntah
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Kriteria Hasil : Mempertahankan / meningkatkan berat badan seperti yang diindikasikan oleh situasi individu, bebas edema.
Kaji status nutrisi
a. Perubahan berat badan
b. Pengukuran antopometrik
c. Nilai laboratorium (elektrolit seru, BUN, kreatinin, protein,transferin, dan kadar besi)
Kaji pola diet nutrisi
Kaji faktor yang berperan dalam merubah masukan nutrisi
Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet
Anjurkan cemilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium diantara waktu makan
Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama makan
Timbang berat badan harian
Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolic, sirkulasi,sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi ureum dalam kulit.
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
Kriteria Hasil : Kulit tidak kering, hiperpigmentasi berkurang, memar pada kulit berkurang
Kaji terhadap kekeringan kulit, pruritis, ekskoriasi, dan infeksi
Kaji terhadap adanya petekie dan purpura
Monitor lipatan kulit dan area yang edema
Gunting kuku dan pertahankan kuku terpotong pendek dan bersih
Kolaborasi :
Berikan pengobatan antipruritis
7. Intoleransi aktifitas b.d anemia, keletihan dan retansi produk sampah
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi
Kriteria Hasil : Meningkatkan rasa sejahtera, dan dapat berpartisipasi dalam aktivitas perawatan mandiri yang dipilih
Kaji faktor yang menimbulkan keletihan
Tingkatkan kemandirian dalam aktifitas perawatan diri yang dapat ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi
Anjurkan aktifitas alternatif sambil istirahat
Anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis
Sumber
Guyton, A.C., Hall, J.E., 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi IX, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 512-514. Habsari, D.A., 2008, Studi Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Ginjal
HIPERCCI,2013, Workshop dan Symposium, Semarang, Jawa Tengah
Kenward, R.L., Tan, C.K., 2003, Penggunaan Obat pada Gagal Ginjal, In Aslam, M., Tan, C.K., Prayitno, A.I., (Eds.), Farmasi Klinis Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 173-153.Suhardjono, Markum, M., Prodjosudjadi, 2001, Pendekatan Klinis Pasien Dengan Penyakit Ginjal In Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III, Balai Penerbit FKUI Jakarta.
Mueller. B.A., 2005, Acute Renal Failure dalam Dipiro, J.T, Talbert, RL., Yee, GC., Wells, BG., Posey, ML., Pharmacotherapy A Pathophysiologic Aprroach, 6th Edition, 781-796, Apleton and lange, Philadelphia
Wilson, L.M., 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi IV, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 787-893.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar